Thursday, 5 November 2015

Sistem Pendaftaran tanah, Sistem Publikasi dan Kekuatan Pembuktian Sertifikat.

Beberapa sistem pendaftaran tanah yang ada antara lain , yaitu sebagai berikut :

1)      Sistem Torres

Sistem ini berasal dari Australia Selatan, adapun sertifikat tanah menurut sistem torrens ini merupakan alat bukti pemegang hak atas tanah yang paling lengkap serta tidak bisa untuk diganggu gugat. Ganti rugi terhadap pemilik sejati adalah melalui dana asuransi. Untuk merubah buku tanah adalah tidak mungkin terkecuali jika memperoleh sertifikat tanah dengan cara pemalsuan dengan tulisan atau diperolehnya dengan cara penipuan. Adapun beberapa keunggulan dari sistem Torrens antara lain:

a) Menetapkan biaya-biaya yang tidak dapat diduga sebelumnya:
b) Meniadakan pemeriksaan yang berulang-ulang;
c) Meniadakan kebanyakan rekaman;
d) Secara tegas menyatakan dasar haknya;
e) Melindungi terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak tersebut dalam sertifikat;
f) Meniadakan pemalsuan. (A.P. Parlindungan, 1999:25).

2)      Sistem Positif

Menurut sistem ini, sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah. Sehingga pendaftaran tanah adalah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah adalah tidak dapat dibantah, kendatipun ternyata ia ternyata ia bukanlah pemilik yang berhak atas tanah tersebut.

Sistem ini meberikan kepercayaan yang mutlak kepada buku tanah. Pejabat-pejabat balik nama tanah dalam sistem ini memainkan peranan yang sangat aktif. Mereka menyelidiki apakah hak atas tanah yang dipindahkan itu dapat didaftar atau tidak (Bachtiar Effendy, 1993:32).

3)      Sistem negatif

Menurut sistem ini bahwa segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah dianggap benar sampai tidak dapat dibuktikan suatu keadaan sebaliknya di muka sidang pengadilan.adapun asas peralihan hak atas tanah menurut sistem ini adalah Asas Memo Plus Yuris yakni melindungi pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dari tindakan orang lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak sebenarnya.

Kelemahan sistem publikasi negatif adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain dan merasa mempunyai tanah itu.

Dengan diberlakukannya UUPA maka negara kita menganut sistem ini, berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA dapat diketahui bahwa dengan didaftarkannya hak atas tanah maka akan diberikan sertifikat tanah sebagai tanda bukti pemegangan hak atas tanah dan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kata kuat dalam pengertian Pasal 19 ayat 2 huruf c berarti sertifikat tanah yang diberikan itu adalah tidak mutlak. Jika dihubungkan antara Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA dengan sistem-sistem dari pendaftaran tanahyang telah disampaikan tadi, maka akibat hukum dari ketentuan Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA tersebut adalah sebagaimana yang tersebut dalam sistem negatif (Bachtiar Effendy,1993:36).

Sistem pendaftaran lain yang kita kenal adalah sistem pendaftaran akta atau ”registration of deeds” dan sistem pendaftaran hak atau ”registration of titles”. Baik sistem pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran hak, tiap pemberian atau menciptakan hak baru serta pemindahan dan pembebanannya dengan hak lain kemudian, harus dibuktikan dengan suatu akta. Sedangkan menurut Budi Harsono sistem pendaftaran yang digunakan di Indonesia adalah sistem pendaftaran hak, sebagaimana digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Hal tersebut nampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkan sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar.

Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut.pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur tersebut merupakan bukti bahwa hak yang bersangkutan serta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut PP 24/1997 tentang pendaftaran tanah.

Dalam penyelenggaraan suatu legal cadastre kepada para pemegang hak atas tanah diberikan surat tanda bukti hak. Dengan surat tanda bukti hak maka dengan mudah dapat membuktikan bahwa ia adalah yang berhak atas tanah yang bersangkutan. Data yang telah ada di Kantor Pertanahan mempunyai sifat terbuka bagi umum yang memerlukan. Dalam hal ini untuk dapat mempercayai akan kebenaran data yang  disajikan maka dikenal sistem publikasi. Pada garis besarnya Sistem publikasi yang dikenal ada dua sistem yaitu :

1)      Sistem publikasi positif.

Sistem ini selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka harus ada register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis dan sertifikat hak sebagai surat tanda bukti hak. Pendaftaran atau pencatatan nama seseorang dalam register sebagai pemegang haklah yang membuat seseorang menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
2)      Sistem publikasi negatif.
Dalam sistem publikasi negatif bukan pendaftaran tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan menentukan berpindahnya hak kepada pembeli. Pendaftaran tidak membuat orang yang memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak, menjadi pemegang haknya yang baru.

Sistem publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Sehingga yang digunakan bukan sistem publikasi negatif yang murni, sistem publikasi murni tidak akan menggunakan sistem pendaftaran hak.

Sehubungan dengan apa yang telah dikemukakan dalam uraian di atas dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap pemegang hak-hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dalam Pasal 32 ayat (1) UUPA diberikan penjelasan resmi mengenai arti dan persyaratan pengertian berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dijelaskan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data-data tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Dengan demikian bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis tersebut harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan.
Ketentuan Pasal 32 ayat (1) UUPA tersebut bukan hanya berlaku bagi sertifikat yang diterbitkan berdasarkan PP No.24/1997 tetapi juga berlaku bagi hal-hal yang dihasilkan dalam kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan PP No.10/1961. Sebagai kelanjutan dari pemberian perlindungan hukum kepada para pemegang sertifikat hak tersebut, dinyatakan dalam Pasal 32 ayat (2) UUPA, yang menjelaskan bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, menjadi tampak dan dirasakan praktisnya, walaupun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem publikasi negatif. Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas pemberian perlindungan yang seimbang, baik pada pihak yang mempunyai tanah maupun pihak yang memperoleh dan menguasainya dengan itikad baik.

Dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti hak (sertifikat) yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan sesuai dengan sistem negatif yang dianut negara kita. Sehingga sertifikat tersebut bukanlah alat bukti yang mutlak dan bukan satu-satunya surat bukti pemegangan hak atas tanah dan oleh karena itu masih ada lagi bukti-bukti lain tentang pemegangan hak atas tanah antara lain zegel tanah atau surat bukti jual beli tanah adat atau surat keterangan hak milik adat. Senada dengan sistem negatif, Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya tanggal 18 September 1975 Nomor 459 K/Sip/1975 menegaskan bahwa :
”Mengingat stelsel negatif tentang register/pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka terdaftarnya nama seseorang di dalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain (seperti halnya dalam perkara ini.”
                                                                  

Ditambah dengan yurisprudensi Mahkamah Agung ini, dengan demikian sertifikat tanah bukanlah alat bukti satu-satunya dan karenanya harus dinilai tidak mempunyai kekuatn pembuktian yang mutlak dan hakim dalam memutuskan suatu perkara terhadap kasus tertentu akakn mencari alat bukti yang lain yang menjadi dasar/ alas hak penerbitan sertifikat tanahsesuai dengan ketentuan tentang upaya pembuktian aesuatu soal menurut Hukum Acara Perdata.

Daftar Pustaka
AP. Parlindungan .1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung : Mandar Maju. . 1999.
Boedi Harsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan.
Bachtiar Effendy . 1993 . Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni.

No comments:

Post a Comment