Beberapa sistem pendaftaran tanah
yang ada antara lain , yaitu sebagai berikut :
1) Sistem
Torres
Sistem ini
berasal dari Australia Selatan, adapun sertifikat tanah menurut sistem torrens
ini merupakan alat bukti pemegang hak atas tanah yang paling lengkap serta
tidak bisa untuk diganggu gugat. Ganti rugi terhadap pemilik sejati adalah
melalui dana asuransi. Untuk merubah buku tanah adalah tidak mungkin terkecuali
jika memperoleh sertifikat tanah dengan cara pemalsuan dengan tulisan atau
diperolehnya dengan cara penipuan. Adapun beberapa keunggulan dari sistem
Torrens antara lain:
a) Menetapkan
biaya-biaya yang tidak dapat diduga sebelumnya:
b) Meniadakan
pemeriksaan yang berulang-ulang;
c) Meniadakan
kebanyakan rekaman;
d) Secara tegas
menyatakan dasar haknya;
e) Melindungi
terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak tersebut dalam sertifikat;
f) Meniadakan
pemalsuan. (A.P. Parlindungan, 1999:25).
2) Sistem
Positif
Menurut sistem
ini, sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak
atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah.
Sehingga pendaftaran tanah adalah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang
terdaftar dalam buku tanah adalah tidak dapat dibantah, kendatipun ternyata ia
ternyata ia bukanlah pemilik yang berhak atas tanah tersebut.
Sistem ini
meberikan kepercayaan yang mutlak kepada buku tanah. Pejabat-pejabat balik nama
tanah dalam sistem ini memainkan peranan yang sangat aktif. Mereka menyelidiki
apakah hak atas tanah yang dipindahkan itu dapat didaftar atau tidak (Bachtiar
Effendy, 1993:32).
3) Sistem
negatif
Menurut sistem
ini bahwa segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah dianggap benar
sampai tidak dapat dibuktikan suatu keadaan sebaliknya di muka sidang
pengadilan.adapun asas peralihan hak atas tanah menurut sistem ini adalah Asas
Memo Plus Yuris yakni melindungi pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dari
tindakan orang lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak
sebenarnya.
Kelemahan sistem
publikasi negatif adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang
hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari
pihak lain dan merasa mempunyai tanah itu.
Dengan diberlakukannya UUPA maka negara kita menganut
sistem ini, berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA dapat diketahui
bahwa dengan didaftarkannya hak atas tanah maka akan diberikan sertifikat tanah
sebagai tanda bukti pemegangan hak atas tanah dan berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. Kata kuat dalam pengertian Pasal 19 ayat 2 huruf c
berarti sertifikat tanah yang diberikan itu adalah tidak mutlak. Jika
dihubungkan antara Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA dengan sistem-sistem dari
pendaftaran tanahyang telah disampaikan tadi, maka akibat hukum dari ketentuan
Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA tersebut adalah sebagaimana yang tersebut dalam
sistem negatif (Bachtiar Effendy,1993:36).
Sistem pendaftaran lain yang kita kenal adalah sistem
pendaftaran akta atau ”registration of deeds” dan sistem pendaftaran hak atau
”registration of titles”. Baik sistem pendaftaran akta maupun sistem
pendaftaran hak, tiap pemberian atau menciptakan hak baru serta pemindahan dan
pembebanannya dengan hak lain kemudian, harus dibuktikan dengan suatu akta.
Sedangkan menurut Budi Harsono sistem pendaftaran yang digunakan di Indonesia
adalah sistem pendaftaran hak, sebagaimana digunakan dalam penyelenggaraan
pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah. Hal tersebut nampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen
yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta
diterbitkan sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar.
Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak
milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah,
yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan
sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut.pembukuan
dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur tersebut merupakan bukti
bahwa hak yang bersangkutan serta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang
diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut PP 24/1997
tentang pendaftaran tanah.
Dalam penyelenggaraan suatu legal cadastre kepada para
pemegang hak atas tanah diberikan surat tanda bukti hak. Dengan surat tanda
bukti hak maka dengan mudah dapat membuktikan bahwa ia adalah yang berhak atas
tanah yang bersangkutan. Data yang telah ada di Kantor Pertanahan mempunyai
sifat terbuka bagi umum yang memerlukan. Dalam hal ini untuk dapat mempercayai
akan kebenaran data yang disajikan maka
dikenal sistem publikasi. Pada garis besarnya Sistem publikasi yang dikenal ada
dua sistem yaitu :
1)
Sistem publikasi positif.
Sistem ini selalu menggunakan sistem pendaftaran hak,
maka harus ada register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan
penyajian data yuridis dan sertifikat hak sebagai surat tanda bukti hak.
Pendaftaran atau pencatatan nama seseorang dalam register sebagai pemegang
haklah yang membuat seseorang menjadi pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan.
2)
Sistem publikasi negatif.
Dalam sistem publikasi negatif bukan pendaftaran tetapi
sahnya perbuatan hukum yang dilakukan menentukan berpindahnya hak kepada
pembeli. Pendaftaran tidak membuat orang yang memperoleh tanah dari pihak yang
tidak berhak, menjadi pemegang haknya yang baru.
Sistem publikasi yang digunakan
dalam pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif,
karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c,
Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Sehingga yang
digunakan bukan sistem publikasi negatif yang murni, sistem publikasi murni
tidak akan menggunakan sistem pendaftaran hak.
Sehubungan dengan apa yang telah
dikemukakan dalam uraian di atas dalam rangka memberikan kepastian hukum
terhadap pemegang hak-hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
dalam Pasal 32 ayat (1) UUPA diberikan penjelasan resmi mengenai arti dan
persyaratan pengertian berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dijelaskan
bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya, sepanjang data-data tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat
ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Dengan demikian bahwa selama tidak dapat
dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis tersebut harus diterima
sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari
maupun dalam berperkara di pengadilan.
Ketentuan Pasal 32 ayat (1) UUPA
tersebut bukan hanya berlaku bagi sertifikat yang diterbitkan berdasarkan PP
No.24/1997 tetapi juga berlaku bagi hal-hal yang dihasilkan dalam kegiatan
pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan PP No.10/1961. Sebagai kelanjutan dari
pemberian perlindungan hukum kepada para pemegang sertifikat hak tersebut,
dinyatakan dalam Pasal 32 ayat (2) UUPA, yang menjelaskan bahwa sertifikat
merupakan alat bukti yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang
diselenggarakan adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di
bidang pertanahan, menjadi tampak dan dirasakan praktisnya, walaupun sistem
publikasi yang digunakan adalah sistem publikasi negatif. Ketentuan tersebut
tidak mengurangi asas pemberian perlindungan yang seimbang, baik pada pihak
yang mempunyai tanah maupun pihak yang memperoleh dan menguasainya dengan
itikad baik.
Dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c
UUPA, bahwa surat tanda bukti hak (sertifikat) yang diterbitkan berlaku sebagai
alat bukti yang kuat dan sesuai dengan sistem negatif yang dianut negara kita.
Sehingga sertifikat tersebut bukanlah alat bukti yang mutlak dan bukan
satu-satunya surat bukti pemegangan hak atas tanah dan oleh karena itu masih
ada lagi bukti-bukti lain tentang pemegangan hak atas tanah antara lain zegel
tanah atau surat bukti jual beli tanah adat atau surat keterangan hak milik
adat. Senada dengan sistem negatif, Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
putusannya tanggal 18 September 1975 Nomor 459 K/Sip/1975 menegaskan bahwa :
”Mengingat stelsel negatif
tentang register/pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka terdaftarnya
nama seseorang di dalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah
tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain (seperti
halnya dalam perkara ini.”
Ditambah dengan
yurisprudensi Mahkamah Agung ini, dengan demikian sertifikat tanah bukanlah
alat bukti satu-satunya dan karenanya harus dinilai tidak mempunyai kekuatn
pembuktian yang mutlak dan hakim dalam memutuskan suatu perkara terhadap kasus
tertentu akakn mencari alat bukti yang lain yang menjadi dasar/ alas hak
penerbitan sertifikat tanahsesuai dengan ketentuan tentang upaya pembuktian
aesuatu soal menurut Hukum Acara Perdata.
Daftar Pustaka
AP. Parlindungan .1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung : Mandar Maju. . 1999.
Boedi Harsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan.
Bachtiar Effendy . 1993 . Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni.