Thursday, 19 November 2015

Tinjauan tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara

Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara) adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara ini adalah Kepala Kecamatan.


Ketentuan tentang penunjukkan PPAT sementara dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Camat yang wilayah kerjanya berada di dalam daerah Kabupaten/Kota yang formasi PPAT-nya belum terpenuhi dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara.
b.      Surat Keputusan Penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi atas nama Kepala Badan Pertanahan Nasional.
c.       Untuk keperluan penunjukan sebagai PPAT Sementara, Camat yang bersangkutan melaporkan pengangkatannya sebagai PPAT Sementara  kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan salinan atau foto copy keputusan pengangkatan tersebut.

Sebelum melaksanakan jabatan, PPAT Sementara wajib mengangkat sumpah jabatan dihadapan Kepala Kantor Pertanahan setempat dan didampingi Rohaniawan. Jika tidak mengangkat sumpah, maka akta yang dibuat tidak sah.

Jika untuk kecamatan itu telah diangkat seorang PPAT, maka Camat yang bersangkutan tetap menjadi PPAT Sementara, sampai ia berhenti menjadi Camat dari kecamatan itu. Jika karena sesuatu sebab (sakit atau cuti) tidak dapat menjalankan tugasnya, maka yang bertindak selaku PPAT Sementara ialah pegawai yang secara sah mewakilinya sebagai Camat (Effendi Perangin, 1994: 5).

PPAT Sementara berhenti melaksanakan tugasnya sebagai PPAT apabila tidak lagi memegang jabatannya atau diberhentikan oleh Pejabat di bidang pertanahan yang sesuai dengan kewenangannya. Kalau Camat berhenti atau dipindahkan, maka dengan sendirinya penggantinya yang akan menggantikannya sebagai PPAT Sementara (A.P.Parlindungan, 1999: 188).

Daftar Pustaka
A.P.Parlindungan. 1991. Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah. Bandung : CV. Mandar Maju.

Effendi Perangin. 1990. Praktek Jual Beli Tanah. Jakarta : Rajawali.

Pelaksanaan PPAT

Setelah pelaksanaan pelantikan, dan pengambilan sumpah jabatan, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib melaksanakan jabatannya secara nyata, yaitu sebagai berikut :

1.       Menyampaikan alamat kantornya, contoh tandatangan, contoh paraf, dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan.

2.       PPAT harus berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya, sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya atau penunjukan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuk.

3.       Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

4.       Dalam hal PPAT juga merangkap jabatan sebagai Notaris, maka kantor tempat melaksanakan tugas jabatan PPAT wajib di tempat yang sama dengan kantor Notarisnya.

5.       PPAT tidak dibenarkan membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak di luar dan atau di dalam daerah kerjanya dengan maksud menawarkan jasa kepada masyarakat.

6.       Kantor PPAT harus dibuka setiap hari kerja kecuali pada hari libur resmi, dengan jam kerja minimum sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat.

7.       PPAT dilarang meninggalkan kantornya lebih dari enam hari kerja berturut-turut kecuali sedang menjalankan cuti.


Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dilarang membuat akta, apabila PPAT sendiri, suami atau isterinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain (A.P.Parlindungan, 1999: 201).

Pengangkatan Sumpah Jabatan PPAT

PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan Kepala Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di daerah kerja PPAT yang bersangkutan, sebelum menjalankan jabatannya. PPAT yang daerah kerjanya disesuaikan karena pemecahan wilayah Kabupaten/ Kotamadya, tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT untuk melaksanakan tugasnya di daerah kerjanya yang baru (A.P.Parlindungan, 1999: 194,195).

Untuk keperluan pengangkatan sumpah, PPAT wajib lapor kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai pengangkatannya sebagai PPAT, apabila laporan tersebut tidak dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya surat keputusan pengangkatan tersebut batal demi hukum.

Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan pengambilan sumpah jabatan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterimanya laporan tersebut. Pengangkatan sumpah jabatan PPAT dilakukan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing dengan pengucapan kata-kata sumpah jabatan sebagai berikut :

“Demi Allah Saya bersumpah”
“Bahwa Saya, untuk diangkat menjadi PPAT, akan setia, dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, dan Pemerintah Republik Indonesia”.
“Bahwa Saya, akan menaati peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an serta peraturan perundang-undangan lainnya”.
“Bahwa Saya, akan menjalankan jabatan Saya dengan jujur, tertib, cermat, dan penuh kesadaran, bertanggung jawab serta tidak berpihak”.
“Bahwa Saya, akan selalu senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat PPAT”.
“Bahwa Saya, akan merahasiakan isi akta-akta yang dibuat dihadapan Saya dan protokol yang menjadi tanggung jawab Saya, yang menurut sifatnya atau berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan”.
“Bahwa Saya, untuk diangkat dalam jabatan Saya sebagai PPAT secara langsung atau tidak secara langsung dengan dalih atau alasan apapun juga, tidak pernah memberikan atau berjanji untuk memberikan sesuatu kepada siapapun juga, demikian juga tidak akan memberikan atau berjanji memberikan sesuatu kepada siapapun juga” (Boedi Harsono, 1999: 709).

Sebagai bukti telah dilaksanakannya pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan, dibuatkan suatu Berita Acara Pelantikan dan Berita Acara Sumpah Jabatan yang disaksikan paling kurang dua orang saksi. Setelah PPAT mengangkat sumpah wajib menandatangani surat pernyataan kesanggupan pelaksanaan jabatan PPAT sesuai dengan keputusan pengangkatannya.

Daftar Pustaka
A.P.Parlindungan. 1991. Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah. Bandung : CV. Mandar Maju.

A.P.Parlindungan. 1991. Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah. Bandung : CV. Mandar Maju.

Daerah Kerja dan Formasi PPAT

Daerah Kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas Daerah Kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas

Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kotamadya dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih wilayah Kabupaten/Kotamadya, maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat memilih satu wilayah kerjanya, dan jika dia tidak memilih maka di tempat mana dia bertugas dan ada kantor pertanahannya di situlah dianggap sebagai tempat kedudukannya dan disamping itu diberi dia tenggang satu tahun untuk memilih sejak diundangkannya Undang-undang pembentukan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, dan jika dia tidak memilih salah satu dari daerah kerja tersebut, maka dianggap dia telah memilih kantor pertanahan di daerah kerjanya dan atas daerah kerja lainnya setelah satu tahun tidak lagi berwenang (A.P.Parlindungan, 1999: 193).

Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan dalam satu satuan daerah kerja PPAT. Berdasarkan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa “formasi PPAT ditetapkan oleh Menteri, apabila formasi PPAT untuk suatu daerah kerja PPAT sudah terpenuhi, maka Menteri menetapkan wilayah tersebut tertutup untuk pengangkatan PPAT”.

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat mengajukan permohonan pindah ke daerah kerja lain. Pengangkatan PPAT baru atau karena pindah daerah kerja, diajukan oleh yang bersangkutan kepada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dilengkapi dengan rekomendasi dari Kepala Kantor Pertanahan di tempat tujuan pindah, dan dari Daerah asal  tempat tugasnya, melalui Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang bersangkutan (A.P.Parlindungan, 1999: 217).


Setelah itu, PPAT yang bersangkutan mengajukan permohonan pengangkatan kembali PPAT yang berhenti kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan di daerah kerja semula dan daerah kerja tujuan. Permohonan pengangkatan kembali tersebut dapat diajukan setelah PPAT yang bersangkutan melaksanakan tugasnya paling kurang tiga tahun.

Wednesday, 18 November 2015

Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT

Didalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah jo. Pasal 11 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, menyebutkan bahwa “ PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia”. PPAT diangkat untuk menjalankan jabatan paling lama sampai usia 65 tahun
Syarat-syarat untuk diangkat menjadi PPAT, yaitu :

1.       Berkewarganegaraan Indonesia
2.       Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun.
3.       Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat.
4.       Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
5.       Sehat jasmani dan rohani.
6.       Lulusan Program Pendidikan Spesialis Notariat atau Program Pendidikan Khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi.
7.       Lulus ujian PPAT yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dengan materi :
a.       Hukum Pertanahan Nasional,
b.      Organisasi dan Kelembagaan Pertanahan,
c.       Pendaftaran Tanah,
d.      Peraturan Jabatan PPAT,
e.      Pembuatan Akta PPAT, dan
f.        Etika Profesi (A.P.Parlindungan, 1999: 186).

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berhenti jabatan, karena:

1.       Meninggal dunia
2.       Telah mencapai usia 65 tahun,
3.       Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan/melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT,
4.       Diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dibedakan menjadi :
a.       Diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, karena :
                                                               i.      permintaan sendiri,
                                                             ii.      tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuk,
                                                            iii.      melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT,
                                                           iv.      diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau anggota TNI/POLRI.
b.      Diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena:
                                                               i.      melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT,
                                                             ii.      dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya lima tahun atau lebih berat berdasarkan putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap,
                                                            iii.      melanggar kode etik.
c.       Diberhentikan untuk sementara dari jabatannya, karena : sedang dalam pemeriksaan Pengadilan sebagai terdakwa suatu perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya lima tahun atau lebih berat dan baru berlaku sampai ada putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (A.P.Parlindungan, 1999: 188).

Daftar Pustaka
A.P.Parlindungan. 1991. Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah. Bandung : CV. Mandar Maju


Tugas Pokok, dan Kewenangan PPAT

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannnya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum.
Perbuatan hukum yang dimaksud diatas adalah:

1.       Jual-beli,
2.       Tukar-menukar,
3.       Hibah,
4.        Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng),
5.        Pembagian hak bersama,
6.        Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik,
7.       Pemberian Hak Tanggungan, dan
8.       Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan (A.P.Parlindungan, 1999: 180).
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum tentang hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.

Kewajiban PPAT, disamping tugas pokok ialah

1.       Menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya
2.       Menyimpan asli dari akta-akta yang dibuatnya (Effendi Perangin, 1994: 6, 7).

Daftar Pustaka
A.P.Parlindungan. 1991. Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah. Bandung : CV. Mandar Maju

Bachtiar Efendi. 1993. Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah. Bandung : Alumni.

Sunday, 8 November 2015

Pengertian PPAT

Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT), menyebutkan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan Hak Tanggungan, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah”.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu”.

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 1 dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah bahwa yang dimaksud dengan “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.

Dari keempat peraturan perundang-undangan di atas menunjukkan bahwa kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah sebagai pejabat umum. Namun dalam peraturan perundangundangan tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan pejabat umum. Maksud “pejabat umum” itu adalah orang yang diangkat oleh Instansi yang berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan tertentu (Boedi Harsono, 2003: 486).

Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah Pejabat Tata Usaha Negara. Dengan demikian terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berlaku juga ketentuan-ketentuan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Namun akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tersebut bukan termasuk Keputusan Tata Usaha Negara, yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Keputusan yang diambil Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk menolak atau mengabulkan permohonan itulah yang merupakan Keputusan Tata Usaha Negara, oleh karena itu keputusan tersebut dapat dijadikan obyek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan (Boedi Harsono, 2003: 436).

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT dibedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu :
1)      Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (Pasal 1 angka 1).

2)      Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara).

Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara) adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Pasal 1 angka 2).

3)      Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus (PPAT Khusus)

Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannnya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus (PPAT Khusus) hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukkannya (Pasal 1 angka 3).

4)      Pejabat Pembuat Akta Tanah Pengganti (PPAT Pengganti).

Pejabat Pembuat Akta Tanah Pengganti (PPAT Pengganti) yaitu yang menggantikan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berhalangan sementara, misalnya karena cuti (Pasal 38 ayat (3)).

Yang dapat diangkat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), adalah :

a)             Notaris,
b)             Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Direktorat Jenderal Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan-peraturan pendaftaran tanah dan peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah,
c)              Para pegawai pamong praja yang pernah melakukan tugas seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),

d)             Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Agraria (A.P.Parlindungan, 1991: 38).


Daftar Pustaka
A.P.Parlindungan. 1991. Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah. Bandung : CV. Mandar Maju.
Boedi Harsono. 2002. Hukum Agraria di Indonesia : Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah. Jakarta : Djambatan.

Saturday, 7 November 2015

Tata cara dan Prosedur pemberian hak milik berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Tata cara pemberian hak atas tanah negara dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
a)      Pemberian hak secara individual

Pemberian hak secara individual merupakan pemberian hak atas sebidang tanah kepada seseorang atau sebuah badan hukum tertentu atau kepada beberapa orang atau badan hukum secara bersama sebagai penerima hak bersama yang dilakukan dengan suatu penetapan pemberian hak.

b)      Pemberian hak secara kolektif

Pemberian hak atas beberapa bidang tanah masing-masing kepada seseorang atau sebuah badan hukum atau kepada beberapaorang atau badan hukum sebagai penerima hak yang dilakukan dengan suatu penetapan pemberian hak.

Adapun prosedur pemberian hak milik menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan antara lain :
1.       Permohonan hak milik atas tanah negara diajukan secara tertulis dan diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan
2.       Permohonan tersebut memuat :

1)       keterangan mengenai identitas Pemohon yaitu apabila perorangan : nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaannya serta keterangan mengenai istri/suami dan anaknya yang masih menjadi tanggungannya;
Dalam keterangan tersebut harus dilampiri dengan foto copy surat bukti identitas, surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia;
apabila badan hukum : nama, tempat kedudukan, akta, tanggal dan nomor surat keputusan pengesahannya oleh pejabat yang berwenang.
fotocopy akta peraturan pendiriannya dan salinan surat keputusan penenunjukkannya;

2)       keterangan mengenai tanahnya yang meliputi: data fisik dan data yuridis

a)      data yuridis yaitu : sertifikat, girik, surat kapling, suratsurat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang dibeli dari Pemerintah,  putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lannya;
b)      data fisik yaitu : surat ukur, gambar stuasi dan IMB,

3)       Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon.

3.       setelah berkas permohonan tersebut diterima, maka Kepala Kantor Pertanahan :
a)        memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik;
b)        mencatat dalam formulir isian sesuai ketentuan;
c)         memberikan tanda terima berkas permohonan formulir isian yang ditentukan;
d)        memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

4.       Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar dan tanah yang data yuridis dan data fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah. Tim penelitian tanah memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum terdaftar dalam berita acara. Panitia pemeriksaan tanah A memeriksa permohonan hak selain yang diperiksa sebagaimana dimaksud di atas dan dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah.
5.       Dalam hal keputusan pemberian hak milik telah dilimpahkan kepada kepala Kantor pertanahan, maka setelah mempertimbangkan pendapat dari Kepala Seksi Hak atas Tanah atau pejabat yang ditunjuk atau Tim Penelitian Tanah atau Panitia Pemeriksa Tanah A, Kepala Kantor Pertanahan akan menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya..
6.       Dalam hal keputusan pemberian hak tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan, maka Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah disertai dengan pertimbangnnya.
7.       Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan dari Kepala Kantor Pertanahan, Kepala kantor Wilayah memerintahkan kepada Kepala Bidang Hak Atas Tanah untuk memeriksa dan meneliti ke;engkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya. Kemudian Kepala Kantor Wilayah menerbitkan Keputusan pemberian hak hak atas tanah yang dimohon atau penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya.
8.       Dalam hal keputusan pemberian hak tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, maka Kepala Kantor Wilayah menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Menteri disertai pendapat dan pertimbangnnya.
9.       Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pertimbangan tersebut Menteri memerintahkan kepada pejabat yang ditunjuk untuk memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik atas tanah yang dimohon dengan memeperhatikan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah, kemudian Menteri menerbitkan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah yang dimohon atau penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya.

10.   Keputusan Pemberian Hak atau Keputusan Penolakan disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.

Friday, 6 November 2015

Pendaftaran Tanah Online



Pulau Derawan, Berau, Kalimantan Timur




Derawan merupakan Pulau Di seberang Berau, Kalimantan Timur, Merupakan destinasi Wisata yang keren dan bagaikan surga di dunia. Indonesia memang banyak menyuguhkan wisata alam yang sangat indah dan bikin unforgetable memory. so, segera berkunjunglah ke Derawan

Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3639) pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi : Pendaftaran tanah untuk pertama kali, dimana pendaftaran pertama kali adalah suatu kegiatan pendaftaran tanah dimana obyek yang akan didaftarkan belum pernah terdaftar. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi :

1) Pengumpulan data dan pengelolaan data fisik.
2) Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan haknya.
3) Penerbitan sertifikat.
4) Penyajian data fisik dan data yuridis.
 5) Penyimpanan data umum dan dokumen.
Sedangkan Pemeliharaan data pendaftaran tanah yang meliputi :
1) Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak ;
2) Pendaftaran perubahan data tanah lainnya. (Boedi Harsono, 2005:487).

Menurut Boedi Harsono, kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi tiga bidang kegiatan:
1)      Bidang fisik atau ”teknik kadastral”

Kegiatan bidang fisik mengenai tanahnya, untuk memperoleh data mengenai letaknya, batas-batasnya, luasnya, bangunan-bangunan dan atau tanaman-tanaman penting yang ada di atasnya. Setelah dipastikan letak tanah yang akan dikumpulkan data fisik kegiatannya dimulai dengan penetapan batas-batasnya serta pemberian tanda-tanda batas di tiap sudutnya. Selanjutnya diikuti dengan pengukuran dan pembuatan peta data fisiknya. Penetapan batas-batas tanah dilakukan atas penunjukkan pemegang hak yang bersangkutan yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah yang berbatasan. Kegiatan ini menghasilkan peta pendaftaran yang melukiskan semua tanah yang ada di wilayah pendaftaran yang sudah diukur. Untuk tiap bidang tanah yang haknya didaftarkannya dibuat apa yang disebut surat ukur

2)       Bidang yuridis

Kegiatan bidang yuridis bertujuan untuk memperoleh data mengenai haknya, siapa pemegang haknya, dan ada atau tidak adanya hak pihak lain yang membebaninya. Pengumpulan data tersebut menggunakan alat pembuktian berupa dokumen dan lain-lainnya.

3)       Penerbitan dokumen tanda bukti hak

Bentuk kegiatan pendaftaran dan hasilnya, termasuk apa yang merupakan surat tanda bukti hak, tergantung pada sistem pendaftaran yang digunakan. Dokumen tanda buti hak ini di Indonesia bisa diterjemahkan sebagai sertifikat (Boedi Harsono, 2005:74-75).

Berdasarkan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan diwilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri. Dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik, pendaftarannya dilaksanakan melalui pendaftaran tanah sporadik yakni melalui permintaan pihak yang berkepentingan.

Menurut ketentuan Pasal 46 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan PP 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa untuk pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik dilakukan terlebih dahulu penetapan lokasi, dimana usul penetapan lokasi ini didasarkan atas rencana kerja kantor pertanahan dengan mengutamakan wilayah desa/ kelurahan yaitu : sebagian wilayahnya sudah didaftar secara sistematik, jumlah bidang yang sudah terdaftar relatif kecil, merupakan daerah pengembangan perkotaan yang tingkat pembangunannya tinggi, dan tersedia titik-titik kerangka nasional.


Menurut Pasal 47 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 dilakukan kegiatan persiapan yang meliputi menyiapkan peta dasar pendaftaran yang memuat pemetaan bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar haknya dalam bentuk peta garis atau peta foto. Tahap selanjutnya dari pendaftaran secara sistematik adalah pembentukan Panitia Ajudikasi dan satuan tugas serta pembagian tugas dan wewenangnya.

Penyelenggaraan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

Sesuai ketentuan Pasal 19 UUPA pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Pemerintah, dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional. Pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan kecuali mengenai kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada pejabat lain, misalnya kegiatan-kegiatan yang pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi wilayah kerja Kepala Kantor Pertanahan.

Dalam melaksanakan tugas tersebut Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP No.24/1997 dan peraturan perundangan lainnya yang bersangkutan. Mengingat pendaftaran tanah secara sistematik pada umumnya bersifat massal, maka dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dibentuk panitia khusus.

Menurut Pasal 8 PP No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa :
1. Dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Panitia Ajudikasi yang dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
2. Susunan Panitia Ajudikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari :
a. seorang ketua panitia, merangkap anggota yang dijabat oleh seorang pegawai Badan Pertanahan Nasional;
b. beberapa orang anggota yang terdiri dari :
1) seorang pegawai Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kemampuan pengetahuan di bidang pendaftaran tanah;
 2) seorang pegawai Badan Pertanahan Nasioanal yang mempunyai pengetahuan di bidang hak-hak atas tanah;
3) Kepala Desa/Kelurahan yang bersangkutan dan atau seorang Pamong Desa/Keluraha yang ditunjuknya.
3. Keanggotaan Panitia Ajudikasi dapat ditambah dengan seseorang anggota yang sangat diperlukan dalam penilaian kepastian data yuridis mengenai bidang-bidang tanah di wilayah desa/kelurahan yang bersangkutan.
4. Dalam melaksanakan tugasnya Panitisa Ajudikasi dibantu oleh satuan tugas pengukuran dan pemetaan, satuan pengumpul data yuridis dan satuan tugas administrasi yang tugas, susunan dan kegiatannya diatur oleh Menteri.

5. Tugas dan wewenang Ketua dan Anggota Panitia Ajudikasi diatur oleh Menteri.

Thursday, 5 November 2015

Sistem Pendaftaran tanah, Sistem Publikasi dan Kekuatan Pembuktian Sertifikat.

Beberapa sistem pendaftaran tanah yang ada antara lain , yaitu sebagai berikut :

1)      Sistem Torres

Sistem ini berasal dari Australia Selatan, adapun sertifikat tanah menurut sistem torrens ini merupakan alat bukti pemegang hak atas tanah yang paling lengkap serta tidak bisa untuk diganggu gugat. Ganti rugi terhadap pemilik sejati adalah melalui dana asuransi. Untuk merubah buku tanah adalah tidak mungkin terkecuali jika memperoleh sertifikat tanah dengan cara pemalsuan dengan tulisan atau diperolehnya dengan cara penipuan. Adapun beberapa keunggulan dari sistem Torrens antara lain:

a) Menetapkan biaya-biaya yang tidak dapat diduga sebelumnya:
b) Meniadakan pemeriksaan yang berulang-ulang;
c) Meniadakan kebanyakan rekaman;
d) Secara tegas menyatakan dasar haknya;
e) Melindungi terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak tersebut dalam sertifikat;
f) Meniadakan pemalsuan. (A.P. Parlindungan, 1999:25).

2)      Sistem Positif

Menurut sistem ini, sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah. Sehingga pendaftaran tanah adalah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah adalah tidak dapat dibantah, kendatipun ternyata ia ternyata ia bukanlah pemilik yang berhak atas tanah tersebut.

Sistem ini meberikan kepercayaan yang mutlak kepada buku tanah. Pejabat-pejabat balik nama tanah dalam sistem ini memainkan peranan yang sangat aktif. Mereka menyelidiki apakah hak atas tanah yang dipindahkan itu dapat didaftar atau tidak (Bachtiar Effendy, 1993:32).

3)      Sistem negatif

Menurut sistem ini bahwa segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah dianggap benar sampai tidak dapat dibuktikan suatu keadaan sebaliknya di muka sidang pengadilan.adapun asas peralihan hak atas tanah menurut sistem ini adalah Asas Memo Plus Yuris yakni melindungi pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dari tindakan orang lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak sebenarnya.

Kelemahan sistem publikasi negatif adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain dan merasa mempunyai tanah itu.

Dengan diberlakukannya UUPA maka negara kita menganut sistem ini, berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA dapat diketahui bahwa dengan didaftarkannya hak atas tanah maka akan diberikan sertifikat tanah sebagai tanda bukti pemegangan hak atas tanah dan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kata kuat dalam pengertian Pasal 19 ayat 2 huruf c berarti sertifikat tanah yang diberikan itu adalah tidak mutlak. Jika dihubungkan antara Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA dengan sistem-sistem dari pendaftaran tanahyang telah disampaikan tadi, maka akibat hukum dari ketentuan Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA tersebut adalah sebagaimana yang tersebut dalam sistem negatif (Bachtiar Effendy,1993:36).

Sistem pendaftaran lain yang kita kenal adalah sistem pendaftaran akta atau ”registration of deeds” dan sistem pendaftaran hak atau ”registration of titles”. Baik sistem pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran hak, tiap pemberian atau menciptakan hak baru serta pemindahan dan pembebanannya dengan hak lain kemudian, harus dibuktikan dengan suatu akta. Sedangkan menurut Budi Harsono sistem pendaftaran yang digunakan di Indonesia adalah sistem pendaftaran hak, sebagaimana digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Hal tersebut nampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkan sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar.

Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut.pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur tersebut merupakan bukti bahwa hak yang bersangkutan serta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut PP 24/1997 tentang pendaftaran tanah.

Dalam penyelenggaraan suatu legal cadastre kepada para pemegang hak atas tanah diberikan surat tanda bukti hak. Dengan surat tanda bukti hak maka dengan mudah dapat membuktikan bahwa ia adalah yang berhak atas tanah yang bersangkutan. Data yang telah ada di Kantor Pertanahan mempunyai sifat terbuka bagi umum yang memerlukan. Dalam hal ini untuk dapat mempercayai akan kebenaran data yang  disajikan maka dikenal sistem publikasi. Pada garis besarnya Sistem publikasi yang dikenal ada dua sistem yaitu :

1)      Sistem publikasi positif.

Sistem ini selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka harus ada register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis dan sertifikat hak sebagai surat tanda bukti hak. Pendaftaran atau pencatatan nama seseorang dalam register sebagai pemegang haklah yang membuat seseorang menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
2)      Sistem publikasi negatif.
Dalam sistem publikasi negatif bukan pendaftaran tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan menentukan berpindahnya hak kepada pembeli. Pendaftaran tidak membuat orang yang memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak, menjadi pemegang haknya yang baru.

Sistem publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Sehingga yang digunakan bukan sistem publikasi negatif yang murni, sistem publikasi murni tidak akan menggunakan sistem pendaftaran hak.

Sehubungan dengan apa yang telah dikemukakan dalam uraian di atas dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap pemegang hak-hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dalam Pasal 32 ayat (1) UUPA diberikan penjelasan resmi mengenai arti dan persyaratan pengertian berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dijelaskan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data-data tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Dengan demikian bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis tersebut harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan.
Ketentuan Pasal 32 ayat (1) UUPA tersebut bukan hanya berlaku bagi sertifikat yang diterbitkan berdasarkan PP No.24/1997 tetapi juga berlaku bagi hal-hal yang dihasilkan dalam kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan PP No.10/1961. Sebagai kelanjutan dari pemberian perlindungan hukum kepada para pemegang sertifikat hak tersebut, dinyatakan dalam Pasal 32 ayat (2) UUPA, yang menjelaskan bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, menjadi tampak dan dirasakan praktisnya, walaupun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem publikasi negatif. Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas pemberian perlindungan yang seimbang, baik pada pihak yang mempunyai tanah maupun pihak yang memperoleh dan menguasainya dengan itikad baik.

Dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti hak (sertifikat) yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan sesuai dengan sistem negatif yang dianut negara kita. Sehingga sertifikat tersebut bukanlah alat bukti yang mutlak dan bukan satu-satunya surat bukti pemegangan hak atas tanah dan oleh karena itu masih ada lagi bukti-bukti lain tentang pemegangan hak atas tanah antara lain zegel tanah atau surat bukti jual beli tanah adat atau surat keterangan hak milik adat. Senada dengan sistem negatif, Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya tanggal 18 September 1975 Nomor 459 K/Sip/1975 menegaskan bahwa :
”Mengingat stelsel negatif tentang register/pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka terdaftarnya nama seseorang di dalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain (seperti halnya dalam perkara ini.”
                                                                  

Ditambah dengan yurisprudensi Mahkamah Agung ini, dengan demikian sertifikat tanah bukanlah alat bukti satu-satunya dan karenanya harus dinilai tidak mempunyai kekuatn pembuktian yang mutlak dan hakim dalam memutuskan suatu perkara terhadap kasus tertentu akakn mencari alat bukti yang lain yang menjadi dasar/ alas hak penerbitan sertifikat tanahsesuai dengan ketentuan tentang upaya pembuktian aesuatu soal menurut Hukum Acara Perdata.

Daftar Pustaka
AP. Parlindungan .1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung : Mandar Maju. . 1999.
Boedi Harsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan.
Bachtiar Effendy . 1993 . Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni.

Obyek Pendaftaran Tanah

Menurut Pasal 9 ayat (1) UUPA obyek pendaftaran tanah meliputi:
1) bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai;
 2) tanah hak pengelolaan;
3) tanah wakaf;
 4) hak milik atas satuan rumah susun;
5) hak tanggungan;
 6) tanah negara. 

Hak guna bangunan dan hak pakai ada yang diberikan oleh negara. Tetapi dimungkinkan juga diberikan oleh pemegang hak milik atas tanah. Tetapi selama belum ada pengaturan mengenai tatacara pembebanannya dan disediakan formulir akta pemberiannya, untuk sementara belum akan ada hak guna banguna dan hak pakai yang diberikan oleh pemegang hak milik atas tanah. Maka yang kini merupakan obyek pendaftaran tanah baru hak hak guna bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh negara ( Boedi Harsono, 2005:476).


Berbeda dengan obyek-obyek pendaftaran tanah yang lain, dalam hal tanah negara pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang bersangkutan dalam daftar tanah. Untuk tanah negara tidak disediakan buku tanah dan karenanya juga tidak diterbitkannya sertifikat. Obyek pendaftaran tanah yang lain didaftar dengan membukukannya dalam peta pendaftaran tanah dan buku tanah serta menerbitkan sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya.

Daftar Pustaka
Boedi Harsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan.

Asas dan Tujuan Pendaftaran tanah

Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksud agar ketentuan – ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. Sedangkan asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan, bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak ynag membutuhkan. Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Utuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari.

Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalui sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan asas terbuka. Asas terbuka dimana masyarakat dapat memperoleh informasi kepada pihak- pihak yang berkepentingan sebelum melakukan perbuatan hukum terhadap bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar misalnya : pengajuan kredit dapat melihatnya secara terbuka. Karena terbuka untuk umum daftar-daftar dan peta-peta tersebut disebut sebagai daftar umum. Tetapi pada kenyataannya karena pendaftaran tanah tersebut baru dilakukan pertama kali oleh Pemilik tanah sehingga belum dapat diketahui secara rinci apakah para pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti yang telah disebutkan di atas.

Tujuan pendaftaran tanah menurut Pasal 3 PP No.24 Tahun 1997 adalah :
1) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
2) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
3) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pendaftaran tanah pada prinsipnya bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yaitu untuk memungkinkan orang-orang yang memegang hak atas tanah itu dapat dengan mudah membuktikan dirinya bahwa dialah yang berhak atas tanah tersebut, selain itu untuk memungkinkan kepada siapa pun, guna dapat mengetahui dengan mudah hal- hal apa saja yang ingin diketahui berkenaan dengan sebidang tanah (Bachtiar Effendy, 1993:42).


Dengan terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk terciptanya suatu pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga yang berkepentingan termasuk pemerintah dengan mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang- bidang tanah mengenai satuan rumah susun yang sudah didaftar. Sehingga terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi pertanahan.

Daftar Pustaka
Bachtiar Effendy . 1993 . Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni.


Pengertian Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah berasal dari kata cadastre (bahasa Belanda kadaster) yaitu istilah untuk suatu rekord atau rekaman, menunjukkan kepada luas, nilai, kepemilikan terhadap suatu bidang tanah dan untuk kepentingan perpajakan ( AP Parlindungan, 1999 :18 ). Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah “rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus- menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.

Pengertian pendaftaran tanah menurut Budi Harsono adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu yang ada di wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda bukti pemeliharaannya (Boedi Harsono, 2005 :72).

Menurut Bachtiar Effendy pendaftaran tanah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak dan dilaksanakan secara terus menerus setiap ada peralihan hak atas tanah dalam rangka menginventarisasikan data-data berkenaan dengan peralihan hak-hak atas tanah menurut UUPA dan Peraturan Pemerintah (Bachtiar Effendy, 1993:15).

Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, apabila dirinci maka unsur pendaftaran tanah adalah sebagai berikut :
1) Kata-kata “suatu rangkaian kegiatan” menunjukkan kepada kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah yang saling berhubungan dan akhirnya menyediakan data yang diperlukan untuk jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan.
 2) Kata-kata “terus menerus” menunjukkan kepada pelaksana kegiatan yang sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah terkumpul dan tersedia harus selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian hingga selalu sesuai dengan keadaan yang terakhir.
3) Kata-kata “teratur” menunjukkan bahwa semua kegiatan harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena hasilnya akan merupakan data bukti menurut hukum, biarpun daya kekuatan pembuktiannya tidak selalu sama dalam hukum negaranegara yang menyelenggarakan pendaftaran tanah.
4) Data tanah Dalam hal data tanah terdapat dua jenis yaitu :
 a) Data fisik, yaitu data-data mengenai letak tanah, luas tanah, serta batas-batas tanahnya, bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.
b) Data yuridis, yaitu mengenai nama hak atas tanah, siapa pemegang hak tersebut serta peralihan dan pembebannya jika ada.
5) Kata-kata “wilayah” adalah wilayah kesatuan administrasi pendaftaran meliputi seluruh negara.
6) Kata-kata “tanah-tanah tertentu” menunjukkan kepada objek pendaftaran tanah. Ada kemungkinan, bahwa yang didaftar hanya sebagian tanah yang dipunyai dengan hak yang ditunjuk.

Daftar Pustaka
AP. Parlindungan .1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung : Mandar Maju. . 1999.
Boedi Harsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan.

Bachtiar Effendy . 1993 . Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Pelaksanaannya. Bandung : Alumni.

Dasar Hukum Pendaftaran Tanah



Dasar hukum dari pendaftaran tanah di Indonesia antara lain yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria sebagai landasan bagi pembaharuan hukum agraria untuk terwujudnya jaminan kepastian hukum bagi masyarakat. Adanya jaminan kepastian hukum ini tercantum dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi, “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Pendaftaran tanah wajib dilakukan bagi pemegang hak atas tanah. Pasal 23 ayat (1) menjelaskan bahwa hak milik demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Pendaftaran tanah untuk hak-hak itu ditujukan kepada pemegang hak agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka, oleh karena pendaftaran atas peralihan, penghapusannya dan pembebanannya, demikian pendaftaran pertama kali ataupun pendaftaran karena konversi, ataupun pembebasannya akan banyak menimbulkan komplikasi hukum jika tidak didaftarkan padahal pendaftaran merupakan alat bukti yang kuat bagi pemegang haknya ( A.P. Parlindungan, 1999:17 ).

Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional seperti diatur dalam ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, Pasal-Pasal tersebut mengatur tentang dasar hukum pendaftaran tanah dan pendaftaran hak-hak atas tanah. Sedangkan ketentuan selanjutnya diatur melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan dari PP No. 24 Tahun 1997. Adapun peraturan yang lainnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Daftar Pustaka:
AP. Parlindungan .1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung : Mandar Maju