Thursday, 3 December 2015

Tinjauan tentang Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah

Peralihan atau pemindahan hak atas tanah berupa jual beli merupakan perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar  hak atas tanah berpindah dari yang mengalihkan (penjual) kepada penerima pengalihan tersebut (pembeli).

Sesuai Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyatakan bahwa setelah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara) membuat akta, selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta tersebut, PPAT atau PPAT Sementara wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.

Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah, jika salah satu syarat di bawah ini tidak terpenuhi:

  1.  Sertifikat atau surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan.
  2. Perbuatan hukum berupa jual beli tanah tidak dibuktikan dengan akta PPAT.
  3. Perbuatan hukum berupa jual beli tanah tidak dibuktikan dengan akta PPAT.
  4. Tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
  5.  Tanah yang bersangkutan merupakan obyek sengketa di Pengadilan.
  6.  Perbuatan hukum berupa jual beli tanah yang dibuktikan dengan akta PPAT batal atau dibatalkan oleh putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  7.  Perbuatan hukum berupa jual beli tanah yang dibuktikan dengan akta PPAT dibatalkan oleh para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan


Penolakan Kepala Kantor Pertanahan dilakukan secara tertulis dengan menyebut alasan-alasan penolakan itu, surat penolakan tersebut disampaikan kepada yang berkepentingan, disertai pengembalian berkas permohonannya, dengan salinan kepada PPAT (A.P.Parlindungan, 1999: 146).

Apabila akta PPAT, dokumen-dokumen, data-data yang bersangkutan lengkap, dan benar serta tidak disengketakan, maka diterbitkan Surat Tanda Bukti Hak berupa sertifikat. Penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya, serta sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang berlaku terhadap pihak ketiga (Adrian Sutedi, 2007: 142)


Daftar Pustaka

Adrian Sutedi. 2007. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta : Sinar Grafika.

A.P.Parlindungan. 1991. Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah. Bandung : CV. Mandar Maju.

Tinjauan tentang Akta Jual Beli Tanah

Pengertian Akta Jual Beli Tanah

Akta dalam arti terluas adalah perbuatan, perbuatan hukum (rechtshandeling). Akta juga diartikan sebagai “suatu tulisan” yang dibuat untuk dipakai sebagai bukti suatu perbuatan hukum, yang mana tulisan ditujukan kepada pembuatan sesuatu (John Salindeho, 1993: 58).
Akta Jual Beli Tanah adalah akta autentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah berkenaan dengan perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah (Bachtiar Efendi, 1993: 85). Akta jual beli tanah sering disebut dengan akta PPAT, menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Menurut Boedi Harsono, akta PPAT merupakan tanda bukti yang bersifat terang dan nyata (riil), yang merupakan syarat bagi sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan, hingga menurut hukum mengikat para pihak yang melakukannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah akta otentik.

Fungsi Akta Jual Beli Tanah

Jual beli menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, harus dibuat dengan akta PPAT, sedangkan jual beli tanah yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat yang sistemnya adalah konkret/kontan/nyata. Namun jual beli tanah yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT masih diragukan kekuatan hukumnya.

Atas dasar pertimbangan itulah, maka jual beli tanah harus dibuat dengan akta PPAT. Adapun fungsinya adalah sebagai bukti telah diadakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Satuan Rumah Susun, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli.
Akta PPAT juga dijadikan dasar bagi pendaftaran atau perubahan data pendaftaran tanah ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertipikat, biarpun jual belinya sah menurut hukum (Adrian Sutedi, 2007: 79).
Daftar Pustaka

Adrian Sutedi. 2007. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta : Sinar Grafika.

John Salindeho. 1993. Masalah Tanah Dalam Pembangunan. Jakarta : Sinar Grafika.

Tuesday, 1 December 2015

Tinjauan tentang Jual Beli Tanah

Jual Beli Secara Umum


Sesuai rumusan Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Berdasarkan pengertian dalam Pasal 1457 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, jual beli termasuk perjanjian. Adapun syarat sahnya perjanjian sesuai Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, adanya suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Jika syarat mengenai kesepakatan dan kecakapan (syarat subyektif) tidak dipenuhi, maka suatu perjanjian dapat dibatalkan, maksudnya perjanjian tetap ada sampai adanya keputusan dari hakim. Sedangkan jika syarat mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal (syarat obyektif) tidak dipenuhi, maka suatu perjanjian batal demi hukum maksudnya sejak awal dianggap tidak ada perjanjian (Gunawan Widjaja, 2002: 11).

Pengertian Jual Beli Tanah


Jual beli tanah adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah, yang disebut “penjual”, berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang disebut “pembeli”, sedangkan pihak “pembeli” berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui (Boedi Harsono, 2003: 27,28).

Menurut hukum Adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan Kepala Adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar sebagian.

Jual beli tanah berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat. Jadi pengertian jual beli tanah menurut UUPA adalah jual beli tanah menurut hukum adat yang telah disempurnakan/dihilangkan sifat kedaerahannya (Adrian Sutedi, 2007: 76).

Daftar Pustaka
Adrian Sutedi. 2007. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta : Sinar Grafika.
Boedi Harsono. 2002. Hukum Agraria di Indonesia : Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah. Jakarta : Djambatan.

Gunawan Widjaja. 2002. Jual Beli. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Thursday, 19 November 2015

Tinjauan tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara

Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara) adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara ini adalah Kepala Kecamatan.


Ketentuan tentang penunjukkan PPAT sementara dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Camat yang wilayah kerjanya berada di dalam daerah Kabupaten/Kota yang formasi PPAT-nya belum terpenuhi dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara.
b.      Surat Keputusan Penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi atas nama Kepala Badan Pertanahan Nasional.
c.       Untuk keperluan penunjukan sebagai PPAT Sementara, Camat yang bersangkutan melaporkan pengangkatannya sebagai PPAT Sementara  kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan salinan atau foto copy keputusan pengangkatan tersebut.

Sebelum melaksanakan jabatan, PPAT Sementara wajib mengangkat sumpah jabatan dihadapan Kepala Kantor Pertanahan setempat dan didampingi Rohaniawan. Jika tidak mengangkat sumpah, maka akta yang dibuat tidak sah.

Jika untuk kecamatan itu telah diangkat seorang PPAT, maka Camat yang bersangkutan tetap menjadi PPAT Sementara, sampai ia berhenti menjadi Camat dari kecamatan itu. Jika karena sesuatu sebab (sakit atau cuti) tidak dapat menjalankan tugasnya, maka yang bertindak selaku PPAT Sementara ialah pegawai yang secara sah mewakilinya sebagai Camat (Effendi Perangin, 1994: 5).

PPAT Sementara berhenti melaksanakan tugasnya sebagai PPAT apabila tidak lagi memegang jabatannya atau diberhentikan oleh Pejabat di bidang pertanahan yang sesuai dengan kewenangannya. Kalau Camat berhenti atau dipindahkan, maka dengan sendirinya penggantinya yang akan menggantikannya sebagai PPAT Sementara (A.P.Parlindungan, 1999: 188).

Daftar Pustaka
A.P.Parlindungan. 1991. Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah. Bandung : CV. Mandar Maju.

Effendi Perangin. 1990. Praktek Jual Beli Tanah. Jakarta : Rajawali.

Pelaksanaan PPAT

Setelah pelaksanaan pelantikan, dan pengambilan sumpah jabatan, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib melaksanakan jabatannya secara nyata, yaitu sebagai berikut :

1.       Menyampaikan alamat kantornya, contoh tandatangan, contoh paraf, dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan.

2.       PPAT harus berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya, sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya atau penunjukan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuk.

3.       Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

4.       Dalam hal PPAT juga merangkap jabatan sebagai Notaris, maka kantor tempat melaksanakan tugas jabatan PPAT wajib di tempat yang sama dengan kantor Notarisnya.

5.       PPAT tidak dibenarkan membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak di luar dan atau di dalam daerah kerjanya dengan maksud menawarkan jasa kepada masyarakat.

6.       Kantor PPAT harus dibuka setiap hari kerja kecuali pada hari libur resmi, dengan jam kerja minimum sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat.

7.       PPAT dilarang meninggalkan kantornya lebih dari enam hari kerja berturut-turut kecuali sedang menjalankan cuti.


Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dilarang membuat akta, apabila PPAT sendiri, suami atau isterinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain (A.P.Parlindungan, 1999: 201).

Pengangkatan Sumpah Jabatan PPAT

PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan Kepala Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di daerah kerja PPAT yang bersangkutan, sebelum menjalankan jabatannya. PPAT yang daerah kerjanya disesuaikan karena pemecahan wilayah Kabupaten/ Kotamadya, tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT untuk melaksanakan tugasnya di daerah kerjanya yang baru (A.P.Parlindungan, 1999: 194,195).

Untuk keperluan pengangkatan sumpah, PPAT wajib lapor kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai pengangkatannya sebagai PPAT, apabila laporan tersebut tidak dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya surat keputusan pengangkatan tersebut batal demi hukum.

Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan pengambilan sumpah jabatan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterimanya laporan tersebut. Pengangkatan sumpah jabatan PPAT dilakukan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing dengan pengucapan kata-kata sumpah jabatan sebagai berikut :

“Demi Allah Saya bersumpah”
“Bahwa Saya, untuk diangkat menjadi PPAT, akan setia, dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, dan Pemerintah Republik Indonesia”.
“Bahwa Saya, akan menaati peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an serta peraturan perundang-undangan lainnya”.
“Bahwa Saya, akan menjalankan jabatan Saya dengan jujur, tertib, cermat, dan penuh kesadaran, bertanggung jawab serta tidak berpihak”.
“Bahwa Saya, akan selalu senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat PPAT”.
“Bahwa Saya, akan merahasiakan isi akta-akta yang dibuat dihadapan Saya dan protokol yang menjadi tanggung jawab Saya, yang menurut sifatnya atau berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan”.
“Bahwa Saya, untuk diangkat dalam jabatan Saya sebagai PPAT secara langsung atau tidak secara langsung dengan dalih atau alasan apapun juga, tidak pernah memberikan atau berjanji untuk memberikan sesuatu kepada siapapun juga, demikian juga tidak akan memberikan atau berjanji memberikan sesuatu kepada siapapun juga” (Boedi Harsono, 1999: 709).

Sebagai bukti telah dilaksanakannya pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan, dibuatkan suatu Berita Acara Pelantikan dan Berita Acara Sumpah Jabatan yang disaksikan paling kurang dua orang saksi. Setelah PPAT mengangkat sumpah wajib menandatangani surat pernyataan kesanggupan pelaksanaan jabatan PPAT sesuai dengan keputusan pengangkatannya.

Daftar Pustaka
A.P.Parlindungan. 1991. Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah. Bandung : CV. Mandar Maju.

A.P.Parlindungan. 1991. Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah. Bandung : CV. Mandar Maju.

Daerah Kerja dan Formasi PPAT

Daerah Kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas Daerah Kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas

Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kotamadya dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih wilayah Kabupaten/Kotamadya, maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat memilih satu wilayah kerjanya, dan jika dia tidak memilih maka di tempat mana dia bertugas dan ada kantor pertanahannya di situlah dianggap sebagai tempat kedudukannya dan disamping itu diberi dia tenggang satu tahun untuk memilih sejak diundangkannya Undang-undang pembentukan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, dan jika dia tidak memilih salah satu dari daerah kerja tersebut, maka dianggap dia telah memilih kantor pertanahan di daerah kerjanya dan atas daerah kerja lainnya setelah satu tahun tidak lagi berwenang (A.P.Parlindungan, 1999: 193).

Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan dalam satu satuan daerah kerja PPAT. Berdasarkan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa “formasi PPAT ditetapkan oleh Menteri, apabila formasi PPAT untuk suatu daerah kerja PPAT sudah terpenuhi, maka Menteri menetapkan wilayah tersebut tertutup untuk pengangkatan PPAT”.

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat mengajukan permohonan pindah ke daerah kerja lain. Pengangkatan PPAT baru atau karena pindah daerah kerja, diajukan oleh yang bersangkutan kepada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dilengkapi dengan rekomendasi dari Kepala Kantor Pertanahan di tempat tujuan pindah, dan dari Daerah asal  tempat tugasnya, melalui Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang bersangkutan (A.P.Parlindungan, 1999: 217).


Setelah itu, PPAT yang bersangkutan mengajukan permohonan pengangkatan kembali PPAT yang berhenti kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan di daerah kerja semula dan daerah kerja tujuan. Permohonan pengangkatan kembali tersebut dapat diajukan setelah PPAT yang bersangkutan melaksanakan tugasnya paling kurang tiga tahun.